Pendidikan telah diyakini sebagai salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan warga negara yang handal profesional dan berdaya saing tinggi. Di samping itu, diyakini pula oleh berbagai bangsa bahwa pendidikan juga merupakan cara yang efektif sebagai proses nation and character building, yang sangat menentukan perjalanan dan regenerasi suatu negara. Pendidikan selalu menjadi topik diskusi yang hangat (up-to-date topic of discussion) bagi negara-negara di penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia.
Indonesia Sebagai salah satu developing country telah menunjukkan perhatian yang cukup besar terhadap pendidikan, yang secara yuridis tercermin dalam Pasal 31 UUD
1945 yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran (Pasal 1); pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang (Pasal 2)”. Di samping itu, masalah pendidikan juga tercermin dalam Rencana Strategis Depdiknas (2004-2009) yang merupakan landasan operasional dalam menjabarkan pendidikan ke dalam kebijakan pendidikan nasional dan program-program kegiatan yang merupakan refleksi dan derived dari Tujuan Pendidikan Nasional.
1945 yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran (Pasal 1); pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang (Pasal 2)”. Di samping itu, masalah pendidikan juga tercermin dalam Rencana Strategis Depdiknas (2004-2009) yang merupakan landasan operasional dalam menjabarkan pendidikan ke dalam kebijakan pendidikan nasional dan program-program kegiatan yang merupakan refleksi dan derived dari Tujuan Pendidikan Nasional.
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 49 (1) secara eksplisit dinyatakan “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”. Pasal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah memiliki tekad yang bulat untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu dengan melakukan himbauan terhadap peningkatan alokasi dana pendidikan yang cukup significant, meskipun realisasinya belum mencapai jumlah yang dipersyaratkan (minimal 20%).
Namun demikian, upaya-upaya yang dilakukan selama ini belum mampu meningkatkan mutu pendidikan yang significant dan belum mampu mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional seperti yang tertuang dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Justru sebaliknya, berbagai kritikan dari berbagai kalangan tentang rendahnya mutu pendidikan terus bermunculan sejalan dengan spirit reformasi bidang pendidikan yang mulai menggema semenjak krisis multi dimensi melanda Indonesia. Terdapat beberapa indikator yang mencerminkan masih rendahnya mutu pendidikan di Indonesia, antara lain masih rendahnya tingkat pencapaian hasil belajar siswa, khususnya bidang ilmu pengetahuan alam, matematika, dan Bahasa Indonesia yang dianggap sebagai faktor determinan mutu pendidikan di jenjang pendidikan dasar.
Komisi Pendidikan Nasional lebih lanjut melaporkan bahwa indikator mutu juga diukur secara kuantitatif berdasarkan prestasi akademis. Berdasarkan laporan Bank Dunia tentang hasil tes membaca murid dari kelas IV Sekolah Dasar menunjukkan bahwa, Indonesia berada pada peringkat terendah di Asia Timur. Berdasarkan rerata hasil tes membaca di beberapa negara menunjukkan hasil yaitu: Hongkong 75,5%, Singapura 74%, Thailand 65,1%, Filipina 52, 6% dan Indonesia 51,7%. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa siswa Indonesia tersebut hanya mampu memahami 30% dari materi bacaan, dan mengalami kesulitan menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran, sehingga berada pada peringkat paling bawah. Dalam studi ini diketahui rata-rata kemampuan sisa kelas 4 SD hanya mampu mengerjakan 34% soal, sedangkan anak SLTP hanya mengerjakan 2% soal, (Wor Bank: 1995).
Mutu pendidikan di Indonesia dalam forum assessment internasional selalu berada di peringkat bawah. Hasil pengukuran yang dilaksanakan oleh The Third Internatonal Mathematics and Science Study (TIMSS) terhadap 38 peserta pada tahu 2000 menunjukkan negara Indoensia hanya mampu meraih rangking 34 untuk mata pelajaran IPA dan rangking 32 untuk mata pelajaran matematika. Peringkat ini berada di bawah Malaisia (16 dan 21) dan Thailand (27 dan 24). Hasil assessment Program for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2003 untuk literacy membaca, matematik dan IPA terhadap 41 negara peserta menunjukkan negara Indonesia hanya mampu meraih rangking kr 39 pada literacy membaca dan matematika sedangkan literacy IPA mendapat rangking 38. peringkat ini berada di bawah Thailand yang mendapat peringkat 32, (Balitbag Depdiknas: 2007:3).
Upaya yang telah dilakukan untuk peningkatan mutu pendidikan belum mencapai hasil yang optimal. Hal ini terbukti dari hasil pengukuran Human Development Index (HDI) antara tahun 1995 sampai dengan 2005, Indoensia masih berada pada posisi rendah bila dibandingkan dengan 179 negara lainnya. Peringkat HDI Indonesia selalu berada diposisi di atas 100, kalah dengan Thailand, Malaisia dan Filipina. Pada tahun 1995
Indonesia berada pada peringkat 104, di bawah Malaysia (59) dan Filipina (100), pada tahun 2000 berada pada peringkat 109, di bawah China (99) dan Filipina (77), dan pada tahun 2005 berada pada peringkat 110, peringkat Indonesia tersebut lebih rendah dari Vietnam yang berada pada peringkat 108 dan jauh lebih rendah dari Malaysia (61), Thailand (73), dan Filipina (84), (Balitbang Depdiknas: 2007:2).
Survei The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) juga menunjukkan bahwa mutu sistem pendidikan Indonesia berada di urutan ke-12 setelah Vietnam. Survei mutu tenaga kerja tersebut telah dilaksanakan, dan hasilnya menempatkan Indonesia pada peringkat ke-12 di antara 12 negara yang disurvey. Peringkat yang dicapai Indonesia berada di bawah Vietnam yang berada pada urutan ke-11, Malaysia urutan ke-7, dan Singapura urutan ke-2.
Indikator-indikator yang telah dipaparkan menggambarkan kondisi nyata profil mutu pendidikan di Indonesia, dan sekaligus merefleksikan mutu sumber daya manusia Indonesia sebagai dampak langsung dari mutu pendidikan. Lebih dari itu, indikator- indikator tersebut juga memberikan gambaran tentang efektivitas dan efisiensi sistem penyelenggaraan pendidikan yang selama ini diterapkan oleh pemerintah Indonesia, meskipun beberapa waktu terakhir terdapat peningkatan prestasi pelajar Indonesia dalam beberapa event internasional, antara lain pada Olimpiade Fisika Internasional ke-23 tahun
2002 yang diselenggarakan di Bali yang menghantarkan lima wakil Indonesia semuanya memperoleh medali (3 medali emas, 1 perak, dan 1 perunggu); dan pada Olimpiade Fisika Asia ke-4 tahun 2003 di Thailand yang menghantarkan regu Indonesia meraih juara umum dengan predikat the best team, dengan memperoleh 6 medali emas dan 2 penghargaan khusus.
Konsep otonomi daerah yang menjadi bagian dari kebijakan pemerintah sejak era reformasi telah menjadi agenda penting yang diterapkan dalam setiap bidang kehidupan termasuk bidang pendidikan. Dalam konteks ini, otonomi di bidang pendidikan merupakan upaya mengembalikan pengelolaan pendidikan kepada pihak-pihak yang dianggap paling mengetahui kebutuhan pendidikan di daerah masing-masing dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu, tema sentral dari otonomi pendidikan adalah desentralisasi. Konsep “desentralisasi” mengisyaratkan adanya penyebaran sesuatu yang sebelumnya terpusat atau terkumpul pada satu tempat saja. Dalam konteks pendidikan, desentralisasi pendidikan berarti pengalihan tanggung jawab pemerintah pusat dalam hal perencanaan, pengelolaan, pengalihan dana, dan alokasi sumber daya pendidikan kepada pemerintah daerah. Keputusan-keputusan desentralisasi secara langsung berpengaruh terhadap siswa seperti keputusan program pendidikan, keputusan kurikulum, keputusan alokasi waktu, keputusan instruksional, dan lain-lain.
Konsep desenralisasi pendidikan dalam kontek otonomi daerah adalah memberikan otonomi pada tingkat satuan pendidikan, karena sekolah (Kepala Sekola) adalah pihak yang lebih mengetahui tentang permasalahan yang dihadapinya dan kebutuhan yang diperlukannya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Upaya pemerintah dalam memberikan otonomi pada tingkat satuan pendidikan diantaranya dilakukan dengan program manajemen berbasis sekolah (MBS) dan pendidikan berbasis masyarakat. MBS bertujuan agar sekolah (Kepala Sekolah) mampu mengetahui permasalahan yang dihadapinya, kebutuhan-kebutuhannya, tujuan pendidikannya, serta mampu menyelesaikan masalahnya sendiri, sehingga menjadi sekolah yang mandiri.
Pendidikan berbasis kepada kebutuhan masyarakat dimaksudkan untuk meningkatkan rasa memliki masyarakat terhadap sekolah, sehingga hubungan kerjasama masyarakat dan sekolah menjadi lebih harmonis. Hubungan kerjasama yang harmonis (gotong-royong) antara sekolah dan masyarakat sudah tercipta pada jaman awal kemerdekaan, (Buku Lima Puluh Tahun Indonesia Merdeka 1995). Sekolah yang mandiri memerlukan dukungan dan kepedulian masyarakat agar sekolah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang menjadi stakeholder utama pendidikan. Wadah untuk menyalurkan aspirasi, dukungan dan kepedulian masyarakat terhadap dunia pendidikan diwujudkan dalam lembaga mandiri yang bernama Komite Sekolah.
Komite Sekolah sebagai wakil dari kepedulian masyarakat terhadap mutu sekolah merupakan institusi yang memiliki peran penting dalam aktivitas pembelajaran secara eksternal. Komite Sekolah berfungsi untuk: (1) mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu; (2) melakukan kerja sama dengan masyarakat dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu; (3) menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat; (4) memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada sekolah mengenai kebijakan dan program pendidikan, rencana anggaran pendidikan dan belanja sekolah (RAPBS), kriteria kinerja satuan pendidikan, tenaga kependidikan, dan fasilitas pendidikan, serta berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan di sekolah; (5) mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung mutu pendidikan dan pemerataan pendidikan; (6) menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di sekolah; dan (7) melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di sekolah.
Kepemimpinan kepala sekolah akan sangat menentukan dalam proses peningkatan mutu pembelajaran di sekolahnya karena kepala sekolah merupakan unsur yang sangat penting dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan masalah pendidikan di sekolah. Kepemimpinan Kepala sekolah dituntut untuk mampu melakukan pengelolaan segala sumber daya yang ada, dan memanfaatkannya untuk belajar siswa. “Kepala Sekolah yang berkompeten harus memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap, performance, dan etika kerja sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai Kepala Sekolah”, (Depdiknas: 2006: 32).
Kompetensi Kepala Sekolah yang profesional harus mampu melakukan pengelolaan segala sumber daya yang ada untuk mendukung suasana belajar yang kondusif. Kepala Sekolah berkewajiban mengelola tenaga kependidikan, seperti melakukan perencanaan dan penempetan guru dan tenaga kependidikan sesuai dengan kompeensinya, menginventarisasi karakteristik guru dan tenaga kependidikan yang efektif, serta memelihara dokumentasi sekolah. Melakukan pembinaan terhadap guru dan tenaga kependidikan seperti memfasilitasi pengembangan profesionalisme tenaga kependidikan, memanfaatkan, menilai kinerja, mengelola konplik, dan memotivasi tenaga kependidikan, serta mengembangkan sistem pembinaan karier.
Mengelola kesiswaaan, seperti melaksanakan penerimaan siswa baru (PSB), mengembangkan potensi siswa sesuai dengan minat, bakat, kreatifitasn dan potensi siswa. Dari sisi prepentif dapat dilakukan dengan menerapkan sistem bimbingan dan konseling, memelihara disiplin siswa, serta menerapkan sistem pelaporan perkembangan siswa.
Melakukan pengelolaan sarana dan prasarana sekolah. Melakukan pengelolaan sarana dan prasarana sekolah diantaranya adalah menyusun kebutuhan fasilitas sekolah, mengidentifikasi jenis dan spesifikasi fasilitas sekolah, melaksanakan pengadaan, melakukan pemeliharaan, menginventarisasi fasilitas sekolah, serta mengelola perpustakaan.
Mengelola hubungan sekolah dengan masyarakat. Diantaranya adalah merencanakan kerjasama dengan lembaga pemerintah, swasta, dan masyarakat, dimulai dengan menyusun program kerjasama, mengidentifikasi dukungan masyarakat (dana, daya, atau pemikiran), sampai memfasilitasi kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat sesuai dengan program yan dikembangkan. Langkah selanjutnya adalah membina kerjasama dengan lembaga pemerintah, swasta dan masyarakat mulai dengan mengembangkan program kerjasama, menerapkan hubungan kerjasama saling menguntungkan, sampai pada tingkat evaluasi dan menindaklanjuti program pelaksanaan dan hasil kerjasama.
Mengelola kegiatan belajar mengajar. Mengelola kegiatan belajar mengajar dimulai dengan mengembangkan kurikulum, mengevaluasi pelaksanaan kurikulum, memfasilitasi guru dalam menyusun silabus, sampai memfasilitasi guru dalam menentukan buku sumber yang tepat. Dalam persiapan KBM, Kepala Sekolah memfasilitasi guru untuk membuat rencana pembelajaran, menyusun bahan ajar, menyiapkan alat bantu pembelajaran, dan menyusun instrumen evaluasi. Dalam pelaksanaan KBM Kepala Sekolah mengkoordinasikan kegiatan belajar mengajar, kegiatan evaluasi, dan pelaporan hasil belajar.
Mengelola ketatausahaan dan keuangan sekolah. Dalam mengelola ketatausahaan sekolah Kepala Sekolah menyelenggarakan tata laksana persuratan, kepegawaian, kesiswaan, fasilitas, kerjasama sekolah, pembelajaran dan tata laksana program sekolah. Dalam mengelola keuangan sekolah Kepala Sekolah bersama guru menyusun RAPBS secara transparan, menggali sumber dana dan atau natura, mengelola akuntansi keuangan sekolah, dan melaksanakan sistem pelaporan keuangan.
Permasalahan mutu pendidikan dalam konteks desentralisasi pendidikan akan berhubungan erat dengan mutu sekolah dan model kepemimpinan kepala sekolah-nya. Hal ini karena sekolah sudah melaksanakan MBS, yang intinya memberikan kewenangan dan pendelegasian kewenangan (delegation of outority) kepada sekolah untuk melakukan perbaikan dan peningkatan mutu secara berkelanjutan (quality continous inprovement). Adapun mutu sekolah dalam hal ini diasumsikan sebagai sejumlah karakteristik mutu yang perlu dimiliki sekolah. Karakteristik tersebut mencakup:
Pertama mutu input pendidikan, yaitu segala hal yang berkaitan dengan masukan untuk proses pendidikan di sekolah merupakan input pendidikan. Input pendidikan dapat berupa material dan non-material. Berikut ini adalah beberapa indikator yang dapat dioperasionalkan sebagai input pendidikan di tingkat persekolahan, yaitu: (1) memiliki kebijakan mutu, (2) tersedia sumber daya yang siap, (3) memiliki harapan prestasi yang tinggi, (4) berfokus pada stakeholder (khususnya peserta didik), (5) memiliki input manajemen.
Kedua mutu proses pendidikan. Berkaitan dengan proses pendidikan di sekolah, dapat dilihat berdasarkan indikator-indikator mutu pembelajaran. Indikator yang dapat dioperasionalkan untuk melihat mutu sebuah sekolah dalam menjalankan Manajemen Berbasis Sekolah, yaitu: (1) efektivitas proses belajar mengajar tinggi, (2) kepemimpinan sekolah yang kuat (3) pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif , (3) sekolah memiliki budaya mutu, (4) sekolah memiliki teamwork yang kompak, cerdas, dan dinamis, (5) sekolah memiliki kewenangan (kemandirian), (6) partisipasi warga sekolah dan masyarakat tinggi, (7) sekolah memiliki keterbukaan (transparansi manajemen), (8) sekolah memiliki kemauan untuk berubah, (9) sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan, (10) sekolah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan, (11) sekolah memiliki akuntabilitas, (12) sekolah memiliki sustainabilitas.
Ketiga mutu output pendidikan. Output adalah kinerja sekolah, kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses sekolah. Kinerja sekolah diukur dari mutunya, efektifitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, mutu kehidupan kerjanya dan moral kerjanya. Pada umumnya indikator output dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu output pencapaian akademik (academic achievement) dan output pencapaian non akademik (non academic achievement).
Memperhatikan indikator-indikator yang mencerminkan mutu pembelajaran dan mutu sumber daya manusia sebagai direct impact dari pendidikan, serta menyadari kelemahan sistem pendidikan yang dianut selama ini, pemerintah dalam dasawarsa terakhir ini telah melakukan reform in education, terutama sistem pendidikan. Sistem pendidikan yang dianut oleh pemerintah selama ini cenderung bersifat centralized yang banyak memberikan wewenang dan tanggung jawab kepada pemerintah pusat dan kurang memberdayakan potensi dan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat. Menyadari kelemahan sistem ini, pemerintah segera mengubah paradigma sistem pendidikan dari centralized menuju decentralized yang lebih banyak memberikan kewenangan dan sekaligus tanggung jawab kepada pemerintah daerah, sekolah dan terlebih lagi kepada masyarakat.
Pergeseran paradigma sistem pendidikan nasional yang dilakukan sejalan dengan semangat otonomi daerah yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999, yang diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25 Tahun 1999, yang diperbaharui dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, yang membawa konsekuensi terhadap pemberdayaan masyarakat dalam menunjang pendidikan yang diharapkan mampu memberikan layanan pendidikan sebagai layanan publik (public services) yang lebih baik, transparent, dan accountable. Untuk mendukung upaya pemberdayaan masyarakat dalam menunjang pendidikan, pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional, telah membentuk wadah bagi masyarakat untuk berpartisipasi dan menyalurkan aspirasi serta dukungan mereka dalam menunjang pendidikan.
Melalui Kepmendiknas No. 044/U/2002, pemerintah memberikan wadah bagi masyarakat untuk berperan serta dan menyalurkan aspirasinya dalam menunjang pendidikan melalui Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten dan Komite Sekolah pada setiap satuan pendidikan atau kelompok satuan pendidikan (sekolah). Dengan adanya Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, tingkat kepedulian dan peran serta masyarakat dalam membantu pemerintah mewujudkan pendidikan yang bermutu diharapkan akan lebih baik dan meningkat untuk mewujudkan community – based education.
Namun demikian, menurut pengamatan Depdiknas, dalam implementasi Kepmendiknas No. 044/U/2002 terdapat beberapa masalah yang perlu segera diselesaikan, antara lain: (1) Belum semua masyarakat dan stakeholders pendidikan di daerah memahami Kepmendiknas No. 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah; (2) Belum semua daerah dan sekolah melaksanakan Kepmendiknas No. 044/U/2002 sebagaimana mestinya; (3) Masih banyak masyarakat yang belum paham tentang Komite Sekolah, dan menganggap Komite Sekolah sama dengan Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3); dan (4) Dampak dari Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah belum banyak berpengaruh terhadap peningkatan mutu layanan pendidikan dan hasil belajar. (5) Kepala Sekolah masih belum optimal bekerjasama dengan Komite Sekolah untuk memberdayakan segala sumber yang ada untuk kepentingan belajar siswa.
Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui secara mendalam tentang implementasi Kepmendiknas No. 044/U/2002, terutama yang terkait dengan pemahaman para stakeholders pendidikan dan masyarakat di daerah dalam memahami Kebijakan Pemerintah tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, serta mengetahui efektivitas kinerja Komite Sekolah dan kepemimpinan Kepala Sekolah dalam meningkatkan mutu layanan pendidikan kepada publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar