BAB I PENDAHULUAN
Pendidikan dalam arti luas mencakupseluruh proses hidupdan segenap bentuk interaksi individu dengan lingkungannya, baik secara formal, non formal maupun informal, sampai dengan suatutaraf kedewasaan tertentu. Sedangkan secara terbatas, pendidikan diartikan sebagai proses interaksi belajar mengajar dalam bentuk formal yang dikenal sebagai pengajaran.
Bersamaan dengan lajunya arus reformasi dalam dunia pendidikan berbagai upaya pembenahan sistempendidikan dan perangkatnya di Indonesia terus dilakukan, akibatnya muncul beberapa peraturan pendidikan untuk saling melengkapi dan penyempurnaan peraturan-peraturan yang sudah tidakrelevan lagi dengan kebutuhansaat ini. Hal ini dapat dilihatdengan berlakunya Undang- Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Upaya meningkatkan kualitaspendidikan terus menerus dilakukantetapi berbagai indikator mutu pendidikanbelum menunjukan peningkatan yang berarti. Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan itu sebenarnya dapat dilakukansalah satunya melaluipeningkatan produktivitas kerja guru dalam menyongsong era tinggal landas. Untuk itu, guru diharapkan dapat meningkatkan kemampuan profesionalnya baik secara perseorangan melalui pendidikan dan pelatihan, maupun secara bersama-sama melalui kegiatan penataran.
Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadimanusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah sangat serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem pendidikan yang baik diharapkan muncul generasipenerus bangsa yang berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Reformasi pendidikan merupakan respon terhadapperkembangan tuntutan global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya manusia untukmemenuhi tuntutan zaman yang sedang berkembang. Melalui reformasi pendidikan, pendidikan harus berwawasan masa depan yang memberikan jaminan bagi perwujudan hak-hak azasi manusia untuk mengembangkan seluruh potensi dan prestasinya secara optimal guna kesejahteraan hidup di masa depan.
Menurut Djamarah (2002),guru adalah salah satu unsur manusia dalam proses pendidikan.Dalam proses pendidikan di sekolah,guru memegang tugas ganda yaitu sebagai pengajar dan pendidik. Sebagai pengajar guru bertugas menuangkan sejumlah bahan pelajaran ke dalam otak anak didik, sedangkan sebagai pendidik guru bertugas membimbing dan membina anak didik agar menjadi manusia susila yang cakap, aktif, kreatif, dan mandiri. Djamarah berpendapat bahwa baik mengajar ma1upun mendidik merupakan tugas dan tanggung jawab guru sebagai tenaga profesional. Oleh sebab itu, tugas yang berat dari seorang guru ini pada dasarnyahanya dapat dilaksanakan oleh guru yang memiliki kompetensi profesional yang tinggi.
Gurumemegang peranan sentraldalam proses belajarmengajar, untuk itu mutu pendidikan di suatu sekolah sangat ditentukan oleh kemampuan yang dimiliki seorang guru dalam menjalankan tugasnya. Menurut Aqib (2002), guru adalah faktor penentu bagi keberhasilan pendidikan di sekolah, karena guru merupakan sentral serta sumber kegiatan belajar mengajar. Lebih lanjut dinyatakan bahwa guru merupakan komponen yang berpengaruh dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja dari seorang guru sangat menentukan mutu pendidikan.
Kinerja guru merupakanperwujudan kerja yang dilakukan oleh seorang guru yang biasanya dipakaisebagai dasar penilaianterhadap guru atau sekolah. Kinerja guru yang baik merupakan suatu langkah untuk menuju tercapainya tujuan pendidikan.
Menurut Dahrin (2000), kinerja guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai utamanya dalam hal bidang keilmuannya. Misalnya, guru Biologi dapat mengajar Kimia atauFisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia. Memang jumlah tenaga pendidik secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi kualitas dan kinerjanya belum sesuai denganharapan. Banyak di antaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan materi yang keliru sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikandan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas.
Mengenai kinerja guru yang perlu diperhatikan, bukan sekedar kemampuan atau kelayakan secara formal melalui jenjang formal yang diperolehnya, melainkan juga aspek metodologidi samping aspek penampilannya, cara berpakaian dan berperilaku sehari-hari yang semuanya harus menunjukkan dan memberi corak sebagaisosok yangperlu diteladani.Sampai saat ini masih banyak ditemukan sosok guru yang berpakaian seenaknya, melaksanakan tugas alakadarnya asal bisa memenuhi jam mengajarnya, tak peduli apakah pelajaran yang disampaikannya bisa dicerna dan mampu membelajarkan murid, serta cukup hanya dengan nilai yang diberikan saat ulangan.
Data Pusat Statistik Pendidikan Balitbang Depdiknas 2000/2001 menunjukkan bahwa persentase guru yang layak mengajar terhadapjumlah guru yang ada secara nasionaladalah 63,79%. Artinyamasih terdapat sekitar 36,21% guru yang tidak layakmengajar baik dilihat dari kompetensimaupun kualifikasi pendidikannya.
Perhatian yang belum sungguh-sungguh terhadap sumber daya pendidikan khususnya guru-guru baik dalam hal peningkatan mutu, kesejahteraan, dan kedudukan sosialnya, proses pendidikan dan perkembangan masyarakat akan lebih memperlebar kesenjangan kualitas guru-guru itu sendiri. Di masyarakat, jabatan guru tidak sepopuler jabatan seorang dokter, demikian juga pendapat seorang guru. Tidaklah mengherankan jika calon mahasiswa yangunggul lebih memilih perguruan tinggi universitas/institut) favorit daripada LTPK. Calon mahasiswa dengan mutu yang rendahpada akhirnya akan mempengaruhi pula mutu luaran LTPK itu sendiri.
Kinerja guru merupakan sarana penentu dalam mencapaitujuan sekolah, sehingga perlu diupayakan untuk meningkatkan kinerjanya. Namun hal ini tidak mudah dilakukan, sebab banyak faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kinerja guru. Rendahnya kinerja guru antara lain disebabkan oleh motivasi kerja, tidak punya etos kerja yang tinggi, dan tidak produktif, sebagaimana dikemukakan oleh Sudarminta (2001) antara lain tampak dari gejala-gejala berikut : (1) lemahnya penguasaan bahan yang diajarkan; (2) ketidaksesuaian antarabidang studi yang dipelajari guru dan yang dalam kenyataanlapangan yang diajarkan; (3) kurang efektifnya cara pengajaran; (4) kurangnya wibawa guru di hadapan murid; (4) lemahnya motivasi dan dedikasi untuk menjadi pendidik yang sungguh- sungguh; semakin banyak yang kebetulan menjadi guru dan tidak betul-betul menjadi guru; (6) kurangnyakematangan emosional,kemandirian berpikir, dan keteguhan sikap dalam cukupbanyak guru sehingga dari kepribadian mereka sebenarnya tidak siap sebagai pendidik; kebanyakan guru dalam hubungan dengan murid masih hanya berfungsi sebagai pengajar dan belum sebagaipendidik; (7) relatif rendahnya tingkat intelektual para mahasiswa calon guru yang masuk LPTK (Lembaga PengadaanTenaga Kependidikan) dibandingkan dengan yang masuk Universitas.
Perlu kita ketahui SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) semenjak menggunakan kurikulum 1994 hingga Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), telah banyak membebani guru. Guru di SMK tidak hanya mengajar dengan mentransfer ilmu pengetahuan, namun mempersiapkan anak didik untuk memasuki dunia kerja. Oleh karena ada bermacam-macam program kegiatan sekolah yang harus dilakukan oleh guru. Seperti pelaksanaan Praktik Industri selama 3 bulan dimana siswa wajib melakukan praktik kerja di perusahaan, kantor selama minimal tiga bulan dan guru bertugas sebagaipemantau siswa. Sekolah melaksanakan Uji Produktif dimana guru harus mempersiapkan siswa untuk menghadapi uji praktik melakukan pekerjaan. Guru harus mengaplikasikan teori pelajaran ke dalam praktikyang sesungguhnya. Guru mengurus unit produksi di sekolah, guru mempersiapkan bahan pengajaran, dan tugas-tugas lainnya.
Adanya tugas sebagaiguru di SMK dengan beban yang berat tersebut bisa menimbulkan ketidakpuasan kerja guru ini bisa terjadi dimana fungsi guru berubah dari fungsi yang sebenarnyasebagaimana dikemukakan oleh Malik Fajar diatas. Ini bisa terjadi disebabkan oleh faktor beban kerja guru yang berat tidak sebanding dengan besarnya gaji, kurangnya penghargaan dan pengakuan dari pimpinan, iklim organisasi yang tidak kondusifadanya tekanan kerja (stres)yang timbul dari akibat pekerjaan di sekolah, dan penyebab lain.
Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan kinerja guru, antara lain: pengelolaan stres kerja, pengalaman kerja, keterampilan teknis, tingkat pendidikan, pengetahuan administrasi pembelajaran, motivasi kerja, gaya kepemimpinan kepala sekolah, dan kecerdasan emosional.
Tuntutan hidup demikian besar pada satu sisi, sementara pada sisi lain tanggung jawab dan beban moral yang dipikul sebagai seorang pengajar dan pendidik sangat besar sering mengakibatkan stres kerja/tekanan mental akibat dari kerja pada guru. Belum lagi jika guru menjadi sasaran kritik atas gagalnya suatu proses pendidikan yang dialami oleh anak didiknya.Tak jarang guru akhirnya mengambil sikap apatis terhadap profesinya di tengah dilema tanggungjawab serta tuntutan sosial ekonomi.
Stres kerja, oleh para ahli perilaku organisasi, telah dinyatakan sebagai agen penyebab dari berbagaimasalah fisik, mental, bahkanoutput organisasi. Stres kerja tidak hanya berpengaruh terhadap individu, tetapi juga terhadapbiaya organisasi dan industri.Banyak studiyang menghubungkan stres kerja dengan berbagai hal, misalnya stres kerja dihubungkan dengan kepuasan kerja, kesehatan mental, ketegangan, ketidak hadiran, dan sering juga dihubungkan dengan kinerja. Sebagai contoh, tingginya level stres kerja dipersepsikan berhubungan secara negatif dengan kepuasankerja. Tingginya levelstres kerja juga dipersepsikan berhubungan secara negatif dengan kesehatan mental.
Salah satu alasan penting mempelajari stres pada guru adalah bahwa berdasarkan pengalaman, stres pada guru dapat mempunyai efek yang merugikan pada diri guru, siswadan lingkungan kerjanya. Stres tersebutdapat berbentuk kelelahan fisik, emosi, sikap yang negatif terhadap siswa, dan keinginanuntuk mengurangi tugas-tugas personal (Schwab dan Jackson, 1986). Konsekuensi dari kelelahan fisik dan emosi ini bisa berbentuk ketidakhadiran guru, sehingga bisa jadi mendorong ketidakhadiran siswa dan tidak adanya prestasi akademis.
Stres pada guru mungkin bisa ditandai dengan munculnyagejala-gejala seperti tidak sabaran, baik dalam sosialisasi maupun saat menghadapi siswadi kelas, lekas marah, sensitifatau mudah tersinggung, bersikapapatis, kurang dapat konsentrasi dalam mengajar, pelupa, peka terhadap kritikyang ditujukan pada dirinya, atau bisa muncul efek organisatoris/kelembagaan yaitu sering absen (tidak masuk) kerja dengan berbagai alasan. Menghindari tanggung jawab, produktivitas kerja/mengajar rendahatau turun, dan justru sering dihinggapi rasa benci terhadap pekerjaan sebagai gejala yang ekstrim.
Menurut Sullivan dan Bhagat (1992),dalam studi mereka mengenai stres kerja (yang diukurdengan role ambiguity, role conflict, dan role overload) dan kinerja, pada umumnya ditemukan bahwa stres kerja berhubungan secara negatif dengan kinerja.
Kerja guru merupakan kumpulan dari berbagai tugas untuk mencapai tujuan pendidikan. Motivasi dalammenjalankan tugasmerupakan aspek penting bagi kinerja atau produktivitas seseorang, ini disebabkan sebagianbesar waktu guru digunakan untuk bekerja. Guru akan berusaha mencapai kinerjatertentu sesuai dengan yang dikehendaki sekolah,jika merasa senang dan puas dengan pekerjaannya. Setiap guru yang merasa puas akan bekerja pada tingkat kapasitas penuh.
Keinginan yang timbul dalamdiri guru untuk bekerja atau biasa disebut dengan motivasi kerja akan mendorong guru untuk selalu memberikan yang terbaik bagi sekolah tempat ia bekerja. Guru tersebut akan berusaha mencari cara dan melakukan hal-hal yang dapat meningkatkan kualitas kerja dan mutu sekolahnya. Guru yang termotivasi, tidak akan puas dengan apa yang didapat/dicapainya, dalam dirinyaada keinginan untuk meningkatkan apa yang sudah dicapai.Guru juga akan selalu berusahaterus untuk mendapatkan apa yang diinginkan, dengan berusaha meningkatkan mutu secara terus-menerus maka berarti pula meningkatkan kinerja dari guru tersebut. Guru yang mempunyai motivasi kerja akan dapat meningkatkan kinerjanya.
Oleh karena itu dalam upaya peningkatan kinerjaguru, menarik untuk dikaji lebih lanjut mengenai stres kerja dan motivasikerja pada guru-guruSMK khususnya yang berada di kota Samarinda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar